Senin, 04 Februari 2013

Sajak Senyap

Awalnya senyap memanggil Fajar..
Ia tak sedang dan enggan berkawan..
 
Selamat pagi Sang Fajar..??
Selamat membawa dingin yg tak kunjung usai untuk buana..
Lalu kenapa kau begitu egois..?
Sudah membawa beku pada kuku, nah sekarang sudah hilang..
Sekejap acuh dari pandangan..
Aku mana tahu kapan kau kembali mengguyurku dengan dingin..

Lalu Fajar hilang dan berganti dengan terik siang yang menjelang..

Selamat siang Sang Terik..??
Apa masih suka kamu meneriaki dunia dengan tubuhmu..??
Banyak yang begitu memaki tanpa mereka-mereka it tahu..
Menghujat dan keluhan yang ada ketika sinarmu luar biasa membuncah..
Tapi kau juga pergi seperti Fajar itu..

Dalam diam yang berkepanjangan..
Senyap berlalu menemukan teman baru bernama senja..

Selamat sore Nona Senja..??
Selamat merapal aksara di sisa surya menjingga..
 Terimakasih sudah berteman denganku..
Aku tahu sebentar lagi waktumu habis kan?
Tak apa, Tak mengapa..
Aku tlah biasa..

Pilihan terakhirku tinggal hanya Pekat..
Kemana dia..?
Tak rindukah dia pada resahku..?
Ah itu dia..

Selamat malam duhai Pekat..?
Selamat menyelimuti jutaan pasang mata didunia.. 
Selamat memejamkan cemas-cemas di paras mereka...
Temani aku hingga bosan menyetiai revolusi.. 
Yah..?

Kamis, 30 Agustus 2012

Adakah Engkau Yang Datang


Adakah engkau yang datang, Tuan…?? Hilang tapi disini..
Masihkah iramamu bersemayam di kering malam…??
Adalah aku hingga waktu berubah detak,menanti hingga patah..
Pada tiap kedip teduh yang jatuh, bathinku luruh nan luluh..
Sebab petanglah yang mendenyutkan nadi sajakku, yg menggulitakan aksara demi aksara..
Aku mengerti bahwa akan ada langit yang tersenyum setelah hujan berhenti menangis..
Tentang temaram yang menanggung lebam, tentang nestapa asmara terbungkam , tentang kita serta dia dengan rasa terdalam…
Aku ingin diri melupa, tentang kisah yg pernah terasa tersalah…
Ketika sejenak beradu tatap, semua yg menggetarkan kalbu sungguh sangat tersesali..
Tatap piluku hingga engkau kan menahu aku selalu terbayang rupa kehilangan…
Tatap peluhku hingga engkau paham aku sudah seperti kembara malam yg dihadiahi kabut…
Diam-diam aku, Tuan.. menangisi lirih kerinduan..
Semua terasa lain, saat gelap menjadi benar benar pekat..
Saat terik berubah rintik..
Saat kau tak pulangkan senyum manisku…
Sungguh, demi beku yang menemaniku kembali..
Di genggaman aku melupa, ini basah hujan atau tetesairmata..
Namun Tuan, jangan tertegun fikir.. besok pagi masih kuhidang riang hangatku..
Karena aku hanya tercipta dari sepah-sepah sendu..
Yang mudah rapuh di tiup gelombang resah..

Selasa, 19 Juni 2012

Mimpi pun menua


Telah kuterjemahkan gemuruh getar di himpitan fajar dan letihnya pelangi.. Tak kusangka merahnya menyalakan setimbun murka pada lusuh petang.. Kuningnya mengalungi leher nurani yang tak lagi angkuh.. 
Mimpiku sudah semakin menua, sayang.. Tak ayal rasanya aku bermanja terus dengan resah yg berpagut.. Memungut senja yang tersisapun aku telah menyerah Aku hanya bila akan bersemangat, jika mentari yang menyuruh.. Karena aku memang tak ingin terlihat serapuh raga embun pagi.. Aku tak mau kalah pada pelangi sehabis hujan sore.. Aku ingin bertanya sesuatu yg cukup lama berputar-putar di kepala besar ini.. Adakah kau pernah meminta hujan untuk tak membasahiku? Memohon pada sang Tuan malam untuk menjaga senyum renyahku? Sebenarnya aku tlah kehabisan kata mendefinisikan maya.. Sekarang hanya ada dinding abu-abuku yang tersenyum utuh untuk mendengar ku bercerita.. Sudah tak kenal lagi aku dengan dialek malam, dibumbui remang-remang temaram, seperti mengirit sesak di bathin yang mengelupas pilu... Sudah tak ingin kenal lagi aku dengan silaunya panas, diracuni cebis-cebis tanya, semacam menggoda peluh di tubuh yang menguliti terik.. Sudah tak ingin kenallah rasanya aku dengan kemilau kelam, dikerubungi oleh angan-angan raksasa, sejenis melepas pakaian ketergantungan yang membuat gerah radikal berfikir.. Kali ini, dicelah tubuh hujan aku disuguhhi tarian kunang-kunang di kiri-kanan ekor mata, menggigil di rajam dingin.. Petangku ditebas hunus tatapan mereka, aku sempat menatap wajah yang resah berapi di genggaman cerminku.. Rasanya ingin kukembalikan sinar pada bulan, hangat pada mentari dan gelap pada malam.. Aku rindu samar suara yang mengalun di telinga. Memejamkan malam. Dalam diam yg berjarak, malam kita membisu... Rindu pun membeku...Oohh... Kau rupanya sedang berceritera manja pada siang...Ahay,, sesak dadaku terlalu sering mengirit nafas...


Senin, 28 Mei 2012

Untittled..

Dalam diam yang berjarak..
Sore kita membeku..
Masih rasanya nestapa bergejolak dalam benak..
Terucap oleh mulut..
Terngiang ditelinga...
Terbawa oleh debu..
Aku semakin tersalah melayani godaan rindu yang ramah menyapa..
Tandatanyaku menggunung ketika membenarkan rupamu telah memesonaku..
Wahai yang menjanjikan senyuman..
Tetaplah menjadi benderang dalam gulitaku..
Seiring irama do'a dalam bathin yang selalu berkumandang..
Asa ini telah mengeping seutuh wujudnya..

Selasa, 03 Januari 2012

Sederet Bait Perempuan Senja

Sebaris kisah dia hadirkan dipelupuk fajar..
Tak perlulah menggambar muka dengan seperangkat alat make up mahal..
Karena baginya kecantikan bukan sebatas sepotong kaki memakai high heels..
Bukan berselimut jubah-jubah mahal berkalung mutiara laut..
Lalu tas-tas import digantungkan di ujung tangan sebelah kiri layaknya istri pejabat yang mendongakkan kepala dan busungkan dadanya ketika mengayunkan langkah..
Bukan seperti itu dipikirannya..

Hhh.. CANTIK...!!
Sudah lama tak ada yang menyebutnya seperti itu..
Ia ingat sekali, dahulu...
Kala bibir manis pria pujangga mengurai definisi kecantikannya dalam sepenggal puisi..

Dia berujar, Aku hanya tinggal memiliki satu penguat di belahan buana yang fana ini setelah seorang ibu.
Kau tak kalah mempesonaku atas pesona-pesona perempuan lalu..
Sekejap semua itu bisa terasa memuakkan bagiku,
Namun demi Tuhan aku tidak menghamba kecantikanmu..
Yang teramat terngiang menggantung didaun telingaku adalah ketika setiap pagi kau bisikkan sesuatu untuk membangunkanku.. mengecup dahiku.
"Selamat pagi"
Suara lembut itu lagi, setiap pagi.
Kau tambah pula hadiahkan aku bonus sepasang anak yang meriangkan hati..
Setumpuk resahmu nan menggemaskanku saat aku terlambat pulang.
Kau tak pernah marah, malah tiba-tiba sudah ada secangkir teh hangat itu.
Tak cukup kutarikan pena ini mengukur budi dan setiamu.
Lalu katakan dengan apa aku membalasmu...??
Tetaplah seperti ini Sang Penguat, jangan pernah merasa rapuh sedetikpun.

Butir-butir airmata berlomba lari membersihkan pipinya yang berdebu.. membasuh pipinya yang keriput.
Badannya memang tak sekuat baja, Belulangnya tak sekokoh kala waktu..
Dia hanya bertumpu pada kaki sendiri sejak pujangganya tlah terbang sendiri.
Dia hanya memiliki sepasang senyum adam dan hawanya..
Dia nikmati belaian matahari, ramahnya hujan, peluh demi peluh seperti mandi di terik bolong saja..
Dia jauh sekali dari kata cantik yang biasanya..
Sudah petang, saatnya ia tinggalkan pinggiran senja.
Bersama pecahan kaki yang sudah usang..


Dia tlah ada di gubuk surga kecilnya..
Berdoa dalam sesaknya nurani, sebutir doa dia panjatkan pada sang Rafi..
"Jaga anak-anakku ketika aku tak disamping inginnya Tuhan.."
Dia bangkit dari do'anya dan menyandingkan pena dengan secarik kertas.
Ia tulis surat untuk dihantar pada Bapak Post besok pagi.
Tak peduli entah dia hantar ke alamat mana.
Sepenggal suratnya berbunyi...
"Aku sudah serenta ini..
Teramat lama kau tak kembali, kadang aku iri pada pelangi.
Bisa tersenyum padamu setiap hari..
Sudah bukan rindu lagi ini kusebut,
Walau kau selalu hadir di penghujung lelahku setiap malam di selaksa mimpi.
Bukan ini yang kudamba, biarlah kaki penuh luka, berpeluh darah, menangisi takdir..
Aku hanya ingin rebahkan letihku di pundakmu, semenit saja.
Lalu akan kuteruskan takdir ini.."





Senin, 02 Januari 2012

Pahamku Terdedah

Dan kutahui satu makna yang berdetak..
Bagai terang lilin yang hilang terhembus..
Kupancang tajam nama yang terpatri di otak kecilku..
Hingga menyisa cebis-cebis kenang..
Menuai kealpaan di selaksa tak biasa..

Dan kunyana satu paham yang terdedah..
Bak debu-debu tergilas hempas angin..
Aku menari ditengah dendang-dendang sepi malamku..
Seakan menghamba dihadiahkan seuntai bayang..

Dan kusingkap sebuah tingkap tertutup..
Meraba makna.. Di sela-sela remuk-redam luar-dalam raga..
Jemariku menjuntai pesonamu yang melenakan..
Masih menyisa butir pahit senyum di kedua lubang lesung pipi..

Ahh.. Semoga pelitamu tak mengalahkan doa-doaku..
Sungguh, dalam mayaku ingin kuikuti semua sujud nyatamu..

Esok Masih Indah

Bau hujan malam ini.. Mendamaikan nurani..
Membuat intuisi berotasi sendiri..
Aku sedang tak membenarkan cemas...
Mengkubu-kubukan diri...

Aku sedang tak membenarkan penat...
Mendewasakan diri dilaci otak ini...
Tapi aku membenarkan impi diselaksa pagi....

Berharap masih bisa mencium aroma fajar esok pagi...
Mengendus bau dedaun basah.. Reranting busuk.. Rerumput hijau...


Ahh...
Esok masih indah sayang...
Tak ayal benar kita berkubang dilubang salah sekali lagi....

Tak ayal benar kita terperosok dilembah khilaf sekali lagi...
Tenang sayang,, semoga aku bisa jadi perempuanmu yg perkasa...
Karena masih ada esok yang benarbenar masih indah....